(bagian-1)
(P. Firminus Andjioe OFMCap)
Ketika di
kota anak-anak bersekolah dengan nyaman, dengan gedung sekolah yang bagus dan
guru digaji dengan memadai, namun di Elok Kolong, nama kampung di wilayah Desa
Tebuah Elok, Kecamatan Subah, Kabupaten Sambas, ada SD yang bangunannya masih
beratapkan daun rumbia, banyak anak yang bersekolah masih nyeker dan gurunya
dibayar dengan beras.
Bagaimana
ini bisa terjadi? Karena Sekolah didirikan oleh masyarakat, bukan oleh
pemerintah. Mereka mendirikan bangunan SD itu, karena gedung sekolah negeri di
Elok Asam terlalu jauh. Ada yang berjarak 4 Km, 6 Km dan yang paling jauh
8 Km dari kampung mereka masing-masing. Sekarang masyarakat sedang berjuang
agar SD mereka dapat dinegrikan, sekolah dibangun dengan layak dan gurunya
mendapatkan Gaji yang memadai.
Bagaimanakah
perjuangan mereka dalam menggapai cita-cita mulia ini? Mari kita simak
kisahnya.
Di SD Elok Kolong
ada lima guru yang mengajar. Mereka ini adalah Albertus Alang, Stepanus Agung,
Dominikus Udut, Ringgo dan Noerhayati. Namun seiring berjalannya, Ringgo
akhirnya mengundurkan diri. Ia hanya mampu mengajar selama tiga bulan.
Pengunduran dirinya dapat dimengerti karena bagaimana mungkin ia dapat bertahan
hidup kalau hanya dibayar dengan beras saja, sedangkan ia kadang pergi mengajar
memakai motor orang tuanya. Dari mana ia mendapat uang bensin untuk sepeda
motornya? Sejauh diketahui, sesudah pulang mengajar, ia menyempatkan diri
membuka kebun lada. Namun dari praktek yang dijalaninya, merawat lada sepulang
dari mengajar tidak mencukupi waktunya. Inilah satu alasan ia mengundurkan
diri.
Alasan Bertahan
Keempat guru
lainnya masih bertahan, karena melihat murid-murid yang ada sudah ada kemajuan
dalam hal membaca, menulis dan berhitung. Agung mengatakan, “Saya ada di sini.
Saya mau membaharui masyarakat, terutama mendidik anak-anak yang ingin sekolah,
tetapi tidak ada yang mau memperhatikan mereka. Inilah yang membuat saya betah
mengajar di tempat ini. Anak- anak sangatlah perlu mendapatkan pendidikan
apalagi di jaman yang modern ini. Saya tidak mau masih ada masyarakat yang jauh
tertinggal di dunia pendidikan. Setidak-tidaknya mereka pandai membaca dan
menulis, sehingga tidak ada yang buta huruf ketika mereka keluar ke dunia yang
akan datang, yakni dunia maju. Saya melihat juga masyarakat di kampung ini
mendukung dan sangat memperhatikan serta menghargai kehadiran kami sebagai guru
pembantu. Anak-anak sangat bersemangat mau belajar. Mereka yang dulu tidak bisa
membaca dan menulis, berkat kehadiran kami ternyata sudah bisa membaca dan
menulis. Yang paling membuat saya betah adalah melihat semangat anak-anak di
Elok Kolong ini yang mau belajar. Saya pikir janganlah saya mematikan semangat
belajar mereka ini. Saya berusaha membantu mereka sejauh kemampuan saya.
Memang dulu ketika
pertama kali kami datang ke sekolah ini, anak-anak belum tahu membaca satu
tulisan yang ditunjuk oleh kami. Ketika kami datang kembali ke sekolah ini,
rata-rata anak-anak sudah dapat mengeja huruf-huruf dalam kalimat. Satu murid
bernama Yudi, sudah sangat lancar membaca. Yang satunya lagi bernama Yulianus
sangat berbakat di bidang Matematika. Kepada anak ini kami bertanya: 2+2
berapa? Ia menjawab 4. 4+4 berapa? Ia menjawab 8. 8+8 berapa? Ia menjawab 16.
16+16 berapa? Ia menjawab 32. 32+32 berapa? Ia menjawab 64. 64+64 berapa? Ia
menjawab 128.128+128 berapa? Anak ini terdiam sejenak lalu hanya tertawa.
Paket C dan Rumah
Guru
Ibu Noerhayati
walaupun tamatan Paket C dan tidak mengenal ilmu cara mengajar, ternyata ia
mengajar dengan baik. Ia mengajar murid-murid kelas 1 dengan cara yang sangat
mudah dipahami oleh anak didiknya. Ia tidak bosan-bosannya mengulang-ulang
melatih murid-muridnya menulis abjad di papan tulis. Kadang-kadang ia
mendatangi muridnya satu persatu di bangku sambil memegang tangan murid untuk
mengajarinya menulis abjad di buku tulis masing-masing. Begitu juga dalam mengenalkan
angka-angka ia dengan sabar memperkenalkan angka nol sampai sepuluh. Sepulang
mengajar ibu Noerhayati pergi ke ladang. Seperti ibu-ibu sekampungnya, ia juga
tanpa segan-segan menggambin, menaruh tali keranjang di kepalanya untuk pergi
ke ladang. Sekali waktu pada waktu sore hari kami melihat sepulang dari ladang,
ia memberi buah timun kepada tiga guru lainnya.
Ketiga Guru, yakni
Alang, Agung dan Udut tinggal di satu rumah, yang oleh masyarakat setempat
disebut rumah guru. Padahal rumah itu hanyalah sebuah rumah kecil yang
berukuran 4x6, terdiri dari ruang tamu, kamar tidur, dapur dan wese yang
semuanya berukuran serba kecil, hasil gotong-royong masyarakat setempat. Rumah
ini terbuat dari dinding papan dan atap seng, tetapi sebagian beratap daun
untuk mencukupi atap seng yang kurang. Pada mulanya rumah ini tidak berwese.
Ketika pertemuan pertama bersama masyarakat, disyaratkan rumah ini harus ada
wesenya, supaya para guru tidak berwese di seluas alam yang ada. Dikatakan pada
mereka tidaklah mungkin seorang guru, ketika sedang berwese terlihat oleh anak
muridnya, bisa-bisa kewibawaan sang guru akan terpengaruh. Di kalangan
masyarakat sendiri, mereka hampir semua berwese di seluas alam yang ada.
Rata-rata rumah tidak mempunyai wese. Hal ini mungkin karena mereka
pagi-pagi sudah berangkat ke ladang. Sore baru pulang ke rumah. Kalau ladang
atau tempat pendulangan cukup jauh, maka biasanya mereka tidak pulang. Kadang
sampai seminggu. Kamar itu wese mereka rasakan tidak terlampau penting. Toh
mereka juga kalau mau ke wese dengan mudah pergi ke sungai yang mengitari
kampung.
BERSAMBUNG ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar