Masih
Relevankah Di Jaman Sekarang?
Hari gini apa masih ada kesetiaan? Semua
orang bertanya tentang kesetiaan? Orang Katolik itu setia? Yakin setia?
Pada suatu senja, saya menenmukan sebuah
VCD rekaman jalannya perayaan sakramen perkawinan orang tua saya yang belum
pernah saya lihat sebelumnya. Bagian yang paling membuat saya takjub dan
terharu adalah Janji Perkawinan. Ibu
saya menangis dan terbata-bata ketika ia mengucapkan: “Di hadapan Allah dan umat yang hadir di sini, saya Katarina menyatakan
dengan tulus ikhlas bahwa Athanasius mulai sekarang menjadi suami saya. Saya
berjanji akan tetap setia, dalam untung dan malang, di kala sehat maupun sakit,
saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup saya. Demikianlah janji saya
demi Allah dan Injil uci ini.”
Sebagai seorang anak, saya merasa sangat
terharu mendengarnya, begitupun setiap kali menghadiri misa perkawinan dan
pembaruan janji perkawinan. Betapa indahnya Sakramen Perkawinan dalam Gereja
Katolik! Setelah itu, apakah perjalanan perkawinan akan bahagia dan mudah saja
selamanya? Tidak!
Perkawinan Katolik adalah sebuah
perjanjian yang kekal, antara Allah dan manusia, bukan kontrak. Maka jika salah
satu pihak menginkari janji, perjanjian tidaklah gugur, karena Allah tetap
setia (2 Timoteus 2 : 13). Suami istiri berjanji demi Allah dan Injil Suci.
Berjanji bukan hanya kepada pasanganya tetapi terlebih kepada Allah. Sakramen
Perkawinan adalah tanda kehadiran Allah dalam cinta suami dan istri. Maka tiada
apapun dan seorangpun yang dapat memutuskan perjanjian ini, kecuali Allah
sendiri.
Banyak pasangan Katolik hanya mau setia di
kala untung dan sehat tapi menolak pasangannya di kala malang dan sakit. Berapa
banyak keluarga Katolik yang berpisah karena menghadapi saat-saat “kemalangan
dan sakit” ini? Pasangan saya tidak sesuai! Pasangan saya selingkuh! Pasangan
saya lebih memilih orangtuanya! Pasangan saya suka memukul dan berbuat
kekerasan dan ribuan alasan lainnya.
Bukankah Perkawinan Katolik itu hanya
untuk mereka yang sudah dewasa? Dengan demikian mereka yang memutuskan untuk
menikah dan dianggap sduah dewasa baik dalam karakter maupun iman? Beranikah
kita bertanggungjawab atas pilihan kita untuk membangun kehidupan berumah
tangga ini? Karena kita makhluk berakal budi yang menentukan dengan bebas dan
bertanggungjawab atas pasangan hidup kita, bukan berganti-ganti pasangan.
Beranikah kita dengan dewasa menghadapi setiap tantangan dan badai?
Jika pasangan kita seperti disebutkan di
atas? Apakah saya akan tetap setia kepadanya di kala untung dan malang, di kala
sehat maupun sakit? Bukankah dulu saya yang memilih dia? Mampukah kita menjadi
anak-anak Allah yang bertanggungjawab atas pilihan kita? Mari hidupi terus
Janji Perkawinan anda dan mohon rahmat kesetiaan pada Tuhan.
Thomas
Paroki
Katedral
Tidak ada komentar:
Posting Komentar