Minggu, 26 Maret 2017

Janji Perkawinan Katolik

Masih Relevankah Di Jaman Sekarang?

Hari gini apa masih ada kesetiaan? Semua orang bertanya tentang kesetiaan? Orang Katolik itu setia? Yakin setia?

Pada suatu senja, saya menenmukan sebuah VCD rekaman jalannya perayaan sakramen perkawinan orang tua saya yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Bagian yang paling membuat saya takjub dan terharu adalah Janji Perkawinan. Ibu saya menangis dan terbata-bata ketika ia mengucapkan: “Di hadapan Allah dan umat yang hadir di sini, saya Katarina menyatakan dengan tulus ikhlas bahwa Athanasius mulai sekarang menjadi suami saya. Saya berjanji akan tetap setia, dalam untung dan malang, di kala sehat maupun sakit, saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup saya. Demikianlah janji saya demi Allah dan Injil uci ini.”


Sebagai seorang anak, saya merasa sangat terharu mendengarnya, begitupun setiap kali menghadiri misa perkawinan dan pembaruan janji perkawinan. Betapa indahnya Sakramen Perkawinan dalam Gereja Katolik! Setelah itu, apakah perjalanan perkawinan akan bahagia dan mudah saja selamanya? Tidak!

Perkawinan Katolik adalah sebuah perjanjian yang kekal, antara Allah dan manusia, bukan kontrak. Maka jika salah satu pihak menginkari janji, perjanjian tidaklah gugur, karena Allah tetap setia (2 Timoteus 2 : 13). Suami istiri berjanji demi Allah dan Injil Suci. Berjanji bukan hanya kepada pasanganya tetapi terlebih kepada Allah. Sakramen Perkawinan adalah tanda kehadiran Allah dalam cinta suami dan istri. Maka tiada apapun dan seorangpun yang dapat memutuskan perjanjian ini, kecuali Allah sendiri.

Banyak pasangan Katolik hanya mau setia di kala untung dan sehat tapi menolak pasangannya di kala malang dan sakit. Berapa banyak keluarga Katolik yang berpisah karena menghadapi saat-saat “kemalangan dan sakit” ini? Pasangan saya tidak sesuai! Pasangan saya selingkuh! Pasangan saya lebih memilih orangtuanya! Pasangan saya suka memukul dan berbuat kekerasan dan ribuan alasan lainnya.

Bukankah Perkawinan Katolik itu hanya untuk mereka yang sudah dewasa? Dengan demikian mereka yang memutuskan untuk menikah dan dianggap sduah dewasa baik dalam karakter maupun iman? Beranikah kita bertanggungjawab atas pilihan kita untuk membangun kehidupan berumah tangga ini? Karena kita makhluk berakal budi yang menentukan dengan bebas dan bertanggungjawab atas pasangan hidup kita, bukan berganti-ganti pasangan. Beranikah kita dengan dewasa menghadapi setiap tantangan dan badai?

Jika pasangan kita seperti disebutkan di atas? Apakah saya akan tetap setia kepadanya di kala untung dan malang, di kala sehat maupun sakit? Bukankah dulu saya yang memilih dia? Mampukah kita menjadi anak-anak Allah yang bertanggungjawab atas pilihan kita? Mari hidupi terus Janji Perkawinan anda dan mohon rahmat kesetiaan pada Tuhan.

Thomas
Paroki Katedral

Tidak ada komentar:

Posting Komentar