Hari hari awal Januari ini kita semua
disibukkan dengan perayaan Tahun Baru 2017. Hari terakhir Desember lalu kita
mengadakan pergantian tahun, tahun 2016 diganti tahun 2017.
Kegembiraan tahun baru kian lama kian
lenyap searah dengan semakin bergantinya hari dan bulan. Tahun 2017 ini kita
jalani semakin lama semakin kita larut menjalaninya dan semakin pendek usianya
menuju tahun berikutnya. Baju baru yang kita beli di tahun baru semakin lama kita
pakai semakin usang dan tua menurut usia dan modelnya.
Bagaimana dengan hidup kita? Syukur
bahwa kita belum ditutup dan diganti sehubungan dengan ditutupnya tahun lama
dan diganti tahun baru menurut istilah kita. Mudah-mudahan hidup kita searah
dengan kenyataan bahwa tahun 2016 dilanjutkan dengan tambahan satu tahun menajdi
2017, dan semoga hidup kitapun sebagai umat beriman berkelanjutan dengan memperoleh
nilai plus tahun ini; “Hidup kita tetap baru”.
Kalau kita bicara tentang hidup lama dan
hidup baru, maka dalam kaitan itu kita harus melihat
kitab suci yang berbicara tentang:
Manusia Lama dan Manusia Baru, serta Perintah Lama dan
Perintah Baru.
“Pengartian” dan “pengertian” salah
tentang hukum, perintah dan aturan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku
seseorang atau kelompok dalam hidup perorangan dan bermasyarakat. Hukum atau
perintah lama yang merupakan perintah negatif atau bentuk larangan-larangan
disertai hukuman-hukuman yang keras, melahirkan pandangan dan anggapan bahwa:
tidak berbuat yang dilarang hukum, berarti taat hukum.
Pandangan lama seperti ini dapat kita
lihat dalam injil Mat.19:16-26, tentang seorang pemuda kaya yang menjawab
penjelasan Yesus mengenai perbuatan baik yang dia harus lakukan dengan berkata:
“Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?” (ayat 20). Bagi
orang tersebut, mengasihi sesama berarti : tidak berbuat jahat terhadap sesama.
Bagi Yesus, bukan hanya tidak berbuat jahat, tetapi harus berbuat baik kepada
sesama, yaitu: sebagai orang kaya harus menjual harta miliknya dan diberikan kepada
orang-orang miskin (ayat 21).
Paham dan penataan hidup demikian, kita temukan
di kalangan orang Yahudi. Banyaknya hukum serta aturan-aturan keagamaan yang keras
tak jarang mengurbankan hidup manusia, seperti hukum Sabat yang harus ditaati
tanpa syarat, sehingga pada saat Sabat tidak boleh melakukan pekerjaan
kemanusiaan seperti menolong orang dalam kesulitan, Yesus yang menyembuhkan
orang sakit pada hari Sabat sangat dikecam sebagai orang yang tidak menaati
hukum Sabat.
Pandangan mereka tentang hukum dalam
hubungannya dengan manusia adalah: Manusia untuk hukum dan bukan Hukum untuk
manusia. Banyak kepincangan yang dilihat oleh Yesus dalam kehidupan
bermasyarakat, yang pada umumnya tak dapat dipisahkan dari hidup keagamaan mereka.
Kaum Farisi dan imam-imam mengajarkannya secara ketat disertai hukuman yang
keras, walaupun mereka sendiri tak mampu menjalankannya, bahkan tak jarang
mereka yang justru melanggarnya.
Dalam situasi dan kondisi demikianlah
Yesus lahir, dibesarkan dan mulai karya-Nya, namun ia tidak larut dan tidak
terbawa arus didalamnya, walaupun Ia sendiri seorang Yahudi. Ia prihatin terhadap
kehidupan bangsa-Nya, namun sedikitpun Ia tidak berminat merebut kekuasaan.
Ia mengadakan pembaruan tetapi bukan
dengan kekerasan atau unjuk rasa. Pandangan tentang hukum harus dibarui; Hukum
bukan polisi yang menembak siapa yang bersalah, melainkan hukum dan aturan
adalah polisi lalu-lintas yang mengayunkan tangan, meniup sempritan untuk
mengatur lalu lintas pemakai jalan umum,
sehingga semua selamat dalam perjalanan sampai ke tujuan.
Paul

Tidak ada komentar:
Posting Komentar