Minggu, 15 Januari 2017

Hidup Baru...., Manusia Baru


Hari hari awal Januari ini kita semua disibukkan dengan perayaan Tahun Baru 2017. Hari terakhir Desember lalu kita mengadakan pergantian tahun, tahun 2016 diganti tahun 2017.


Kegembiraan tahun baru kian lama kian lenyap searah dengan semakin bergantinya hari dan bulan. Tahun 2017 ini kita jalani semakin lama semakin kita larut menjalaninya dan semakin pendek usianya menuju tahun berikutnya. Baju baru yang kita beli di tahun baru semakin lama kita pakai semakin usang dan tua menurut usia dan modelnya.

Bagaimana dengan hidup kita? Syukur bahwa kita belum ditutup dan diganti sehubungan dengan ditutupnya tahun lama dan diganti tahun baru menurut istilah kita. Mudah-mudahan hidup kita searah dengan kenyataan bahwa tahun 2016 dilanjutkan dengan tambahan satu tahun menajdi 2017, dan semoga hidup kitapun sebagai umat beriman berkelanjutan dengan memperoleh nilai plus tahun ini; “Hidup kita tetap baru”.

Kalau kita bicara tentang hidup lama dan hidup baru, maka dalam kaitan itu kita harus melihat
kitab suci yang berbicara tentang: Manusia Lama dan Manusia Baru, serta Perintah Lama dan
Perintah Baru.

“Pengartian” dan “pengertian” salah tentang hukum, perintah dan aturan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang atau kelompok dalam hidup perorangan dan bermasyarakat. Hukum atau perintah lama yang merupakan perintah negatif atau bentuk larangan-larangan disertai hukuman-hukuman yang keras, melahirkan pandangan dan anggapan bahwa: tidak berbuat yang dilarang hukum, berarti taat hukum.

Pandangan lama seperti ini dapat kita lihat dalam injil Mat.19:16-26, tentang seorang pemuda kaya yang menjawab penjelasan Yesus mengenai perbuatan baik yang dia harus lakukan dengan berkata: “Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?” (ayat 20). Bagi orang tersebut, mengasihi sesama berarti : tidak berbuat jahat terhadap sesama. Bagi Yesus, bukan hanya tidak berbuat jahat, tetapi harus berbuat baik kepada sesama, yaitu: sebagai orang kaya harus menjual harta miliknya dan diberikan kepada orang-orang miskin (ayat 21).
 
Paham dan penataan hidup demikian, kita temukan di kalangan orang Yahudi. Banyaknya hukum serta aturan-aturan keagamaan yang keras tak jarang mengurbankan hidup manusia, seperti hukum Sabat yang harus ditaati tanpa syarat, sehingga pada saat Sabat tidak boleh melakukan pekerjaan kemanusiaan seperti menolong orang dalam kesulitan, Yesus yang menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat sangat dikecam sebagai orang yang tidak menaati hukum Sabat.

Pandangan mereka tentang hukum dalam hubungannya dengan manusia adalah: Manusia untuk hukum dan bukan Hukum untuk manusia. Banyak kepincangan yang dilihat oleh Yesus dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada umumnya tak dapat dipisahkan dari hidup keagamaan mereka. Kaum Farisi dan imam-imam mengajarkannya secara ketat disertai hukuman yang keras, walaupun mereka sendiri tak mampu menjalankannya, bahkan tak jarang mereka yang justru melanggarnya.

Dalam situasi dan kondisi demikianlah Yesus lahir, dibesarkan dan mulai karya-Nya, namun ia tidak larut dan tidak terbawa arus didalamnya, walaupun Ia sendiri seorang Yahudi. Ia prihatin terhadap kehidupan bangsa-Nya, namun sedikitpun Ia tidak berminat merebut kekuasaan.

Ia mengadakan pembaruan tetapi bukan dengan kekerasan atau unjuk rasa. Pandangan tentang hukum harus dibarui; Hukum bukan polisi yang menembak siapa yang bersalah, melainkan hukum dan aturan adalah polisi lalu-lintas yang mengayunkan tangan, meniup sempritan untuk
mengatur lalu lintas pemakai jalan umum, sehingga semua selamat dalam perjalanan sampai ke tujuan.

Paul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar