Minggu, 29 Januari 2017

Kurangnya Pelayanan pengkaderan Sebagai ketua umat pada stasi santo Pertrus Babante


Bernaung dalam Tuhan akan diselamatkan sampai anak cucu”

Siapa lagi jika bukan umat sendiri yang mengurus gereja. Gereja sangat butuh partisipasi umat yang rela berkorban waktu, tenaga dan pikiran. Menjadi pengurus gereja bukanlah sesuatu yang mudah. Karena tidak mudah lah sedikit kepala keluarga yang terlibat saat kepengurusan gereja, apalagi sebagai ketua umat di stasi adalah tugas perutusan yang dianggap sangat beresiko. 


Karena tenaga, waktu, pikiran bahkan biaya pribadi pun terkeluarkan hanya untuk mengurus gereja. Itulah sekilas keluhan dari Sunardi Budi sebagai ketua Umat pada Stasi Retok Babante. Bapak kelahiran 1-11-1970 ini mengaku sudah 6 tahun menjadi ketua umat dan sudah dua kali mencoba untuk mengundurkan diri dari ketua umat tepatnya pada tahun 2013 dan 2014. Namun, sekalipun ia mengundurkan diri tidak seorang pun dari BAPAKAT yang bersedia mengganti posisinya menjadi ketua umat.

Sebetulnya bapak sunardi budi bukanlah asli penduduk retok babante, namun sejak tahun 1976 ia pindah dari Sanggau ke kubu raya yang awalnya hanya bekerja pada suatu perusahaan kemudian perusahaan tersebut mendapat masalah dan beliau adalah salah satu dari karyawan tersebut yang di PHK. Kemudian setelah peristiwa itu ia masuk ke desa retok babante dan berdomisili sampai sekarang. Kemudian seiring berjalannya waktu, ia dipercaya untuk menjadi ketua umat pada stasi Santo Petrus Babante. Selama 6 tahun sudah menjadi ketua umat pada stasi retok babante, ia masih saja menjadi ketua umat, dan sekarang sudah memasuki tahun 2017 maka bertambahlah jumlah tahun saat menjadi ketua umat.

Sekalipun sudah sekian lama menjadi ketua umat, tetapi beliau yakin bahwa setiap yang ia perbuat akan menghasilkan buah yang tidak terhitung banyaknya dari Tuhan. Dari keyakinan itulah yang membuatnya untuk kembali meneruskan tugasnya sebagai ketua umat saat belum ada yang siap menjadi pengganti. Apa yang ia tabur sekarang suatu saat akan ia tuai. Meskipun sudah dua kali ia hendak mengundurkan diri kepada paroki untuk tidak menjadi ketua umat lagi, namun melihat tidak ada satupun yang mau menggantikannya, ia pun tidak tega melihat tanggung jawab ditinggalkan begitu saja. Kepada duta ia mengaku bahwa, ada suka dan duka saat menjadi ketua umat. Sukanya adalah ketika apa yang ia butuhkan terpenuhi, tidak tahu dari mana dan asal rezeki itu selalu ada jalan dan berkat yang ia beserta keluarganya rasakan. Sejalan dengan itu perasaan lega dalam hati muncul saat bisa menolong orang lain baik yang sedang sakit, mengurus perkawinan, dan bahkan  orang meninggal sekalipun. Ia memiliki prinsip, apa yang ia kerjakan sekarang pasti Tuhan mempunyai maksud tertentu untuk masa depan untuk anak dan cucu nanti.

Namun, suka akan selalu berdampingan dengan duka dan tidak sedikit juga kesukaran yang ia dapat menjadi ketua umat yaitu tantangan untuk mengajak keterlibatan umat saat ada kegiatan gereja, sangat sedikit yang mau terlibat. Tetapi jika ada kematian, tidak sedikit umat yang menyuruh pak budi untuk mengurusnya sampai selesai. Itulah yang menjadi kekesalan pak budi, anggap saja jika kalau ada perlunya baru mau menghubungi ketua umat. Tetapi saat diperlukan untuk mengikuti kegiatan gereja sangat sulit untuk mengumpulkan umat. Meskipun begitu, ia tetap tidak menuntut hak atas kemauan orang lain.

 Sebab ia juga menyadari bahwa bekerja untuk gereja tidaklah dibayar layaknya PNS atau jabatan lain. Ini adalah kerja untuk Tuhan dan bukan untuk dunia. Begitulah yang ia rasakan menjadi ketua umat selama 6 tahun. Ia berharap selain umat mau terlibat dalam kegiatan gereja dan gotong royong dalam gereja, ada juga umat yang bersedia menggantikannya saat usai periode jabatan ketua umatnya.
SAM




Tidak ada komentar:

Posting Komentar