Oleh Y PRIYONO PASTI*
BELAKANGAN ini, kehormatan
profesi
guru terus diuji. Aksi kekerasan yang menimpa sejumlah guru tatkala sedang
bertugas di sekolah menyebabkan guru yang semestinya menjadi teladan
dan panutan menjadi kehilangan kehormatannya. Karena itu, perlindungan dan
penguatan profesi guru mesti dilakukan.
Kini, semakin dirasakan keberadaan sanksi (punishment) yang dilakukan oleh guru (sekolah)
tak lagi dihormati. Aksi kekerasan yang menimpa Dasrul (52) guru SMKN 2 Makasar
dan Kolnedi guru olah raga di SDN 4 Kuala Kurun, Gunung Mas,
Kalteng karena ada orangtua yang tak terima anaknya ditegur (dan dihukum)
meskipun itu dalam rangka menegakkan disiplin dan wibawa sekolah adalah
buktinya.
Padahal
setiap sekolah mempunyai otoritas untuk memberikan reward dan punishment
kepada setiap siswa sesuai dengan aturan yang telah ditentukan dan disepakati
oleh komunitas sekolah. Sekolah tentu
tidak gegabah memberikan teguran bahkan sanksi kepada siswanya apalagi hanya
didasari oleh sentimen diskriminatif.
Celakanya, di tengah semakin maraknya kriminalisasi dan
aksi kekerasan terhadap guru itu, tak ada lembaga advokasi untuk membantu,
memperjuangkan, dan membela nasib guru. Kita sungguh prihatin atas kasus yang
menimpa sejumlah guru yang sampai berurusan dengan pihak kepolisian dan
pengadilan. Kita
tak habis pikir mengapa otoritas pendidikan yang mestinya dihargai dan
dihormati malah dilecehkan.
Sekolah
merupakan tempat pembentukan manusia seutuhnya. Artinya, sekolah tidak hanya
bicara soal dimensi intelektualitas (otak), tetapi juga dimensi hati, akal budi
(budi pekerti), perilaku, sikap, tutur kata, sopan santun, tata krama, dan
nilai-nilai (values) yang memfasilitasi
siswa menjadi semakin mempribadi (utuh).
Tujuan
pengajaran di sekolah adalah pendidikan. Salah satu tugas sekolah sebagai
lembaga pendidikan ialah menampilkan dimensi etik, yaitu membangkitkan
dinamisme spiritual setiap pribadi dan membantunya mencapai kebebasan moral
yang melengkapi kebebasan psikologis. Tugas sekolah adalah mengembangkan
pribadi-pribadi yang bertanggung jawab, dapat mengatur diri sendiri, dan mampu
memilih dengan bebas sesuai dengan suara hati.
Sekolah
adalah tempat para siswa secara bertahap membuka diri kepada hidup seperti apa
adanya dan membentuk dalam diri mereka sikap yang jelas terhadap hidup
sebagaimana seharusnya. Sekolah bukan sekadar tempat orang diberi pilihan
nilai-nilai intelektual, melainkan tempat orang mengetengahkan sederetan nilai
yang dihayati. Sekolah merupakan komunitas yang nilai-nilainya dikomunikasikan
melalui hubungan yang tulus antarpribadi para anggotanya dan kepatuhan
perseorangan maupun kelompok kepada pandangan hidup yang menjiwai sekolah.
Sekolah
yang baik pasti mempunyai pandangan hidup (visi) yang dirumuskan secara
komprehensif dan dijalankan sebagaimana adanya dan seharusnya. Dalam
pendidikan, mengarah pada suatu pandangan hidup merupakan bagian dari setiap
keputusan. Maka, demi kesatuan dalam pengajaran, setiap anggota komunitas
sekolah perlu mempunyai pandangan hidup atau visi yang sama berdasarkan
ketaatan kepada skala nilai-nilai yang diyakini. Ini menjadi dasar/pijakan bagi
para guru kewenangan untuk mendidik (di sekolah).
Sekolah yang baik, pelaksanaan proses pendidikannya tentu
didasarkan pada prinsip pendidikan yang total-integratif.
Prinsip pendidikan di sekolah tidak berat sebelah; kognitif intelektualistik melulu
ataupun ekstrem hanya romantis membuai dunia perasaan belaka, tetapi memekarkan
bakat-bakat lain seperti seni, olah raga, bahasa, budi pekerti, moral, cita
rasa, religiositas, sosialitas, politik,
dan sebagainya. Pada titik inilah betapa pentingnya reward dan punishment
terhadap siswa dalam rangka membentuk pribadi yang utuh dan bertanggung jawab.
Tiadanya penghargaan terhadap otoritas guru/sekolah/pendidikan
dalam memberikan reward dan punishment terhadap siswanya, sejatinya
bisa dikatakan sebagai contempt of teacher/school
(penghinaan terhadap sekolah) bahkan contempt
of education (penghinaan terhadap jagat pendidikan). Jika tidak ditangani
secara serius kasus-kasus seperti ini, ke depan bukan tidak mungkin penghinaan
yang lebih keji akan menimpa guru dan
sekolahkita.
Agar kasus-kasus kriminalisasi, aksi kekerasan, dan pelecehan
terhadap guru dan sekolah tak terulang
lagi, optimalisasi fungsi Dewan Kehormatan Guru menjadi tuntutan. Dewan
Kehormatan Guru (DKG) yang sudah dibentuk pada 2008 berdasarkan Pasal 44
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen patut melaksanakan
fungsi dan perannya secara konsisten dan konsekuen.
Dengan adanya DKG, para guru mendapat jaminan
perlindungan dalam melaksanakan tugas mulianya dengan aman dan nyaman dalam
mendidik para siswa, generasi peradaban republik ini. Jika ada guru yang
melanggar kode etik guru, DKG-lah yang terlebih dahulu memprosesnya. Kalau
memang bersalah, DKG-lah yang merekomendasikan sanksi atas pelanggaran kode
etik yang dilakukan guru.
Menjadi guru adalah tugas mulia untuk mendidik,
menyampaikan nilai-nilai (values), dan
mengajarkan keutamaan hidup kepada para siswa untuk tumbuh dan berkembang
secara optimal dan utuh. Karena itu, menjaga kehormatan guru dari pelbagai
kriminalisasi, aksi kekerasan, intimidasi, dan rupa-rupa tindakan pelecehan
menjadi sangat penting. Pada titik ini, DKG sebagai ‘payung’ yang melindungi
profesi guru menemukan aktualitasnya. Semoga!
Penulis
Seorang Pendidik Alumnus USD Yogyakarta
Humas
SMP santo F. Asisi - Tinggal di Kota Pontianak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar