Minggu, 29 Januari 2017

Menjaga Kehormatan Guru (Sekolah)


Oleh Y PRIYONO PASTI*

BELAKANGAN ini, kehormatan profesi guru terus diuji. Aksi kekerasan yang menimpa sejumlah guru tatkala sedang bertugas di sekolah menyebabkan guru yang semestinya menjadi teladan dan panutan menjadi kehilangan kehormatannya. Karena itu, perlindungan dan penguatan profesi guru mesti dilakukan.
Kini, semakin dirasakan keberadaan sanksi (punishment) yang dilakukan oleh guru (sekolah) tak lagi dihormati. Aksi kekerasan yang menimpa Dasrul (52) guru SMKN 2 Makasar dan Kolnedi guru olah raga di SDN 4 Kuala Kurun, Gunung Mas, Kalteng  karena ada orangtua yang tak terima anaknya ditegur (dan dihukum) meskipun itu dalam rangka menegakkan disiplin dan wibawa sekolah adalah buktinya.
Padahal setiap sekolah mempunyai otoritas untuk memberikan reward dan punishment kepada setiap siswa sesuai dengan aturan yang telah ditentukan dan disepakati oleh komunitas sekolah. Sekolah  tentu tidak gegabah memberikan teguran bahkan sanksi kepada siswanya apalagi hanya didasari oleh sentimen diskriminatif.  
Celakanya, di tengah semakin maraknya kriminalisasi dan aksi kekerasan terhadap guru itu, tak ada lembaga advokasi untuk membantu, memperjuangkan, dan membela nasib guru. Kita sungguh prihatin atas kasus yang menimpa sejumlah guru yang sampai berurusan dengan pihak kepolisian dan pengadilan. Kita tak habis pikir mengapa otoritas pendidikan yang mestinya dihargai dan dihormati malah dilecehkan.
 Sekolah merupakan tempat pembentukan manusia seutuhnya. Artinya, sekolah tidak hanya bicara soal dimensi intelektualitas (otak), tetapi juga dimensi hati, akal budi (budi pekerti), perilaku, sikap, tutur kata, sopan santun, tata krama, dan nilai-nilai (values) yang memfasilitasi siswa menjadi semakin mempribadi (utuh).
Tujuan pengajaran di sekolah adalah pendidikan. Salah satu tugas sekolah sebagai lembaga pendidikan ialah menampilkan dimensi etik, yaitu membangkitkan dinamisme spiritual setiap pribadi dan membantunya mencapai kebebasan moral yang melengkapi kebebasan psikologis. Tugas sekolah adalah mengembangkan pribadi-pribadi yang bertanggung jawab, dapat mengatur diri sendiri, dan mampu memilih dengan bebas sesuai dengan suara hati.
Sekolah adalah tempat para siswa secara bertahap membuka diri kepada hidup seperti apa adanya dan membentuk dalam diri mereka sikap yang jelas terhadap hidup sebagaimana seharusnya. Sekolah bukan sekadar tempat orang diberi pilihan nilai-nilai intelektual, melainkan tempat orang mengetengahkan sederetan nilai yang dihayati. Sekolah merupakan komunitas yang nilai-nilainya dikomunikasikan melalui hubungan yang tulus antarpribadi para anggotanya dan kepatuhan perseorangan maupun kelompok kepada pandangan hidup yang menjiwai sekolah.
Sekolah yang baik pasti mempunyai pandangan hidup (visi) yang dirumuskan secara komprehensif dan dijalankan sebagaimana adanya dan seharusnya. Dalam pendidikan, mengarah pada suatu pandangan hidup merupakan bagian dari setiap keputusan. Maka, demi kesatuan dalam pengajaran, setiap anggota komunitas sekolah perlu mempunyai pandangan hidup atau visi yang sama berdasarkan ketaatan kepada skala nilai-nilai yang diyakini. Ini menjadi dasar/pijakan bagi para guru kewenangan untuk mendidik (di sekolah).
Sekolah yang baik, pelaksanaan proses pendidikannya tentu didasarkan pada prinsip pendidikan yang total-integratif. Prinsip pendidikan di sekolah tidak berat sebelah; kognitif intelektualistik melulu ataupun ekstrem hanya romantis membuai dunia perasaan belaka, tetapi memekarkan bakat-bakat lain seperti seni, olah raga, bahasa, budi pekerti, moral, cita rasa, religiositas, sosialitas, politik, dan sebagainya. Pada titik inilah betapa pentingnya reward dan punishment terhadap siswa dalam rangka membentuk pribadi yang utuh dan bertanggung jawab.
Tiadanya penghargaan terhadap otoritas guru/sekolah/pendidikan dalam memberikan reward dan punishment terhadap siswanya, sejatinya bisa dikatakan sebagai contempt of teacher/school (penghinaan terhadap sekolah) bahkan contempt of education (penghinaan terhadap jagat pendidikan). Jika tidak ditangani secara serius kasus-kasus seperti ini, ke depan bukan tidak mungkin penghinaan yang lebih keji akan menimpa  guru dan sekolahkita.
Agar kasus-kasus kriminalisasi, aksi kekerasan, dan pelecehan terhadap guru  dan sekolah tak terulang lagi, optimalisasi fungsi Dewan Kehormatan Guru menjadi tuntutan. Dewan Kehormatan Guru (DKG) yang sudah dibentuk pada 2008 berdasarkan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen patut melaksanakan fungsi dan perannya secara konsisten dan konsekuen.
Dengan adanya DKG, para guru mendapat jaminan perlindungan dalam melaksanakan tugas mulianya dengan aman dan nyaman dalam mendidik para siswa, generasi peradaban republik ini. Jika ada guru yang melanggar kode etik guru, DKG-lah yang terlebih dahulu memprosesnya. Kalau memang bersalah, DKG-lah yang merekomendasikan sanksi atas pelanggaran kode etik yang dilakukan guru.
Menjadi guru adalah tugas mulia untuk mendidik, menyampaikan nilai-nilai (values), dan mengajarkan keutamaan hidup kepada para siswa untuk tumbuh dan berkembang secara optimal dan utuh. Karena itu, menjaga kehormatan guru dari pelbagai kriminalisasi, aksi kekerasan, intimidasi, dan rupa-rupa tindakan pelecehan menjadi sangat penting. Pada titik ini, DKG sebagai ‘payung’ yang melindungi profesi guru menemukan aktualitasnya. Semoga!

Penulis Seorang Pendidik Alumnus USD Yogyakarta
Humas SMP santo F. Asisi - Tinggal di Kota Pontianak


Tidak ada komentar:

Posting Komentar