“Katolik tidak menghilangkan Budaya tetapi justru
melengkapi budaya. Sebab kita lahir dari budaya, maka tanggungjawab kita
sebagai orang beriman adalah mengembangkan budaya dan menghargai budaya itu”
Kalimanantan Barat memang dikenal sebagai pulau yang
menjadi paru-paru dunia. Alam yang masih indah, dan hutan-hutan yang masih
sangat lebat membuat Kalimantan Barat menjadi salah satu pulau yang bergelar
sebagai paru-paru dunia. Sahabat Duta yang terkasih, kali ini wartawan duta
tidak membahas tentang alam, tetapi lebih pada perayaan Imlek di Kalimantan
Barat.
Sebagaimana sudah
dilandaskan dalam ketentuan uskup mengenai Imlek. Imlek bukanlah sebuah
Agama melainkan sebuah ‘tradisi’ alias cara hidup orang jaman dahulu. Jadi jika
ada sebagian orang menganggap bahwa imlek adalah sebuah agama maka itu sangat
rancu. Imlek itu anggap saja seperti naik
dango untuk suku Dayak. Nah, sama juga dengan acara Imlek umumnya.
Kebiasaan masa lalu memang menjadi pedoman bagi
generasi sekarang dalam melakukan berbagai momen yang terkait identias awalnya.
Contoh; jika ia seorang yang bersuku Dayak, maka untuk menghormati leluhurnya
maka dilaksanakan naik dango, jika ia
seorang Tionghua maka ia juga berhak merayakan hari raya Imlek sesuai dengan
tradisi yang ia yakini.
Dalam kebijakan Pastoral Keuskupan Agung Pontianak
mengenai tahun baru Imlek pada hari jumat pantang masa Prapaskah sudah
dijelaskan. Bahwa kebijakan Pastoral KAP dibuat untuk menanggapi berbagai
pertanyaan tentang Tahun Baru Imlek. Kata
“Imlek” berasal dari dialek bahasa Hokkian yang berasal dari kata Yin Li, yang
berarti “Penanggalan bulan” atau lunar calendar.
Perayaan
“Imlek” sebenarnya adalah
perayaan menyambut musim
semi yang disebut dengan Chun Jie. Musim dingin yang
membuat aktivitas manusia seakan-akan berhenti segera berlalu dan tibalah musim
semi dimana para petani mulai dapat menanam kembali. Seperti pada masyarakat
tradisional lainnya yang mengandalkan alam untuk kehidupan mereka, maka
datangnya musim semi yang menandai munculnya harapan baru merupakan peristiwa
yang wajib dirayakan, (kutipan artikel
kebijakan pastoral).
Pagi itu sekitar jam 08.00 WIB dimulainya misa, pas
perayaan Imlek di Gereja Paroki Santo Fransiskus Assisi Singkawang, ratusan
umat menghadiri perayaan misa Imlek. Ada 4 pastor yang mendampingi uskup dalam
perayaan misa kala itu. Hari itu bukanlah kebetulan saja Bapa Uskup disana,
tetapi itu sudah menjadi agenda Uskup untuk menyapa umat Tionghua yang ada
disana. Sebagai gembala yang baik tentunya bukan hanya didepan mimbar saja kita
bisa mewartakan cinta Tuhan, kadang kita juga harus merendahkan diri dan hadir
ditengah mereka, ujarnya.
Perayaan Imlek merupakan perayaan setiap Tahun yang
dilaksanakan oleh etnis Tionghua baik itu Katolik, Protestan, Konghucu, Tao dan
Budha. Melalui perayaan inilah kesempatan untuk kita saling menyapa, memaafkan,
saling berbagi, saling sharing, saling mengenal dan masih banyak lagi hal yang
positif untuk membangun keharmonisan dalam bermasyarakat. Seperti tahun ini
yang menggagas tentang semangat Kebhinekaan dalam Gereja Katolik, tambah uskup.
Gereja Katolik sangat menghargai budaya, oleh sebab
itu bagi kita yang beragama Katolik jangan pernah lupa akan budaya mu. Tanpa
budaya, mungkin kita tidak bisa sampai saat ini. Justru dengan adanya
budayalah, manusia semakin bermoral dan berahlak mulia ditengah dunia.
Kehadiran Gereja justru menambahkan kepercayaan yang bersifat transendental alias kepercayaan yang
Ilahi ditengah masyarakat.
Sahabat majalah duta yang terkasih, semakin hari kita
dihadapkan dengan adu domba mengenai identitas diri. Orang semakin banyak
menjual identitas diri hanya untuk kepentingan ‘semata,’ harapannya supaya kita
tetap waspada terhadap pengaruh itu. Ingatlah siapa diri kita, dan ingatlah apa
Iman kita dengan ini pelan-pelan kita akan terbebas dari pengaruh pandangan
buruk terkait pengaruh tersebut. Mulailah kritis dengan keadaan, dan jangan
mudah terpancing dengan isu-isu yang berbau suku, raas, dan agama. Tahun ini
adalah tahun politik, oleh sebab itu sebagai umat Katolik, kita tetap tenang
dan bijak dalam bertindak serta berkata-kata, pesannya.
Dari umur dibawah sepuluh tahun sampai dengan umur
sembilan puluh ke atas, Uskup Agung membagikan angpao kepada semua umat yang
hadir saat itu. pembagian angpao adalah tradisi Tiongkok kuno yang lazimnya
dilakukan oleh orang yang sudah berkeluarga, dan diberikan kepada mereka yang
masih belum berkeluarga. Atau angpao juga diberikan kepada orang tua yang sudah
lanjut usia, dan masih banyak lagi cara-cara yang melambangkan sebuah
kemurahaan hati dari memberi sebuah angpao.
Ada peristiwa yang langka kala itu, ditengah pembagian
angpao dan saat itu khusus membagi untuk orang tua. Nyaris dua kali uskup
melangkahkan kaki untuk mendekati orang tua yang tidak bisa berjalan normal.
Sontak terdengar dari samping oleh wartawan tentang cara uskup. Begini
bunyinya; “lia lo nyin sin ho,” artinya
orang tua ini sangat baik ; ditujukan pada uskup. Ratusan orang antri seperti
menyambut komuni, untuk mendapatkan angpao, jeruk dan kue keranjang pada
perayaan kala itu. (Paul –Semz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar