Kamis, 01 Maret 2018

Misa Nuansa Imlek Bersama Mgr. Agus


 “Katolik tidak menghilangkan Budaya tetapi justru melengkapi budaya. Sebab kita lahir dari budaya, maka tanggungjawab kita sebagai orang beriman adalah mengembangkan budaya dan menghargai budaya itu”

Kalimanantan Barat memang dikenal sebagai pulau yang menjadi paru-paru dunia. Alam yang masih indah, dan hutan-hutan yang masih sangat lebat membuat Kalimantan Barat menjadi salah satu pulau yang bergelar sebagai paru-paru dunia. Sahabat Duta yang terkasih, kali ini wartawan duta tidak membahas tentang alam, tetapi lebih pada perayaan Imlek di Kalimantan Barat.

Sebagaimana sudah  dilandaskan dalam ketentuan uskup mengenai Imlek. Imlek bukanlah sebuah Agama melainkan sebuah ‘tradisi’ alias cara hidup orang jaman dahulu. Jadi jika ada sebagian orang menganggap bahwa imlek adalah sebuah agama maka itu sangat rancu. Imlek itu anggap saja seperti naik dango untuk suku Dayak. Nah, sama juga dengan acara Imlek umumnya.

Katolik Boleh Imlek
Kebiasaan masa lalu memang menjadi pedoman bagi generasi sekarang dalam melakukan berbagai momen yang terkait identias awalnya. Contoh; jika ia seorang yang bersuku Dayak, maka untuk menghormati leluhurnya maka dilaksanakan naik dango, jika ia seorang Tionghua maka ia juga berhak merayakan hari raya Imlek sesuai dengan tradisi yang ia yakini.
Dalam kebijakan Pastoral Keuskupan Agung Pontianak mengenai tahun baru Imlek pada hari jumat pantang masa Prapaskah sudah dijelaskan. Bahwa kebijakan Pastoral KAP dibuat untuk menanggapi berbagai pertanyaan tentang Tahun Baru Imlek. Kata “Imlek” berasal dari dialek bahasa Hokkian yang berasal dari kata Yin Li, yang berarti “Penanggalan bulan” atau lunar calendar.

Perayaan  “Imlek”  sebenarnya  adalah  perayaan  menyambut  musim  semi  yang  disebut dengan Chun Jie. Musim dingin yang membuat aktivitas manusia seakan-akan berhenti segera berlalu dan tibalah musim semi dimana para petani mulai dapat menanam kembali. Seperti pada masyarakat tradisional lainnya yang mengandalkan alam untuk kehidupan mereka, maka datangnya musim semi yang menandai munculnya harapan baru merupakan peristiwa yang wajib dirayakan, (kutipan artikel kebijakan pastoral).

Uskup Misa Imlek di Singkawang
Pagi itu sekitar jam 08.00 WIB dimulainya misa, pas perayaan Imlek di Gereja Paroki Santo Fransiskus Assisi Singkawang, ratusan umat menghadiri perayaan misa Imlek. Ada 4 pastor yang mendampingi uskup dalam perayaan misa kala itu. Hari itu bukanlah kebetulan saja Bapa Uskup disana, tetapi itu sudah menjadi agenda Uskup untuk menyapa umat Tionghua yang ada disana. Sebagai gembala yang baik tentunya bukan hanya didepan mimbar saja kita bisa mewartakan cinta Tuhan, kadang kita juga harus merendahkan diri dan hadir ditengah mereka, ujarnya.

Perayaan Imlek merupakan perayaan setiap Tahun yang dilaksanakan oleh etnis Tionghua baik itu Katolik, Protestan, Konghucu, Tao dan Budha. Melalui perayaan inilah kesempatan untuk kita saling menyapa, memaafkan, saling berbagi, saling sharing, saling mengenal dan masih banyak lagi hal yang positif untuk membangun keharmonisan dalam bermasyarakat. Seperti tahun ini yang menggagas tentang semangat Kebhinekaan dalam Gereja Katolik, tambah uskup.

Gereja Katolik sangat menghargai budaya, oleh sebab itu bagi kita yang beragama Katolik jangan pernah lupa akan budaya mu. Tanpa budaya, mungkin kita tidak bisa sampai saat ini. Justru dengan adanya budayalah, manusia semakin bermoral dan berahlak mulia ditengah dunia. Kehadiran Gereja justru menambahkan kepercayaan yang bersifat transendental alias kepercayaan yang Ilahi ditengah masyarakat.

Sahabat majalah duta yang terkasih, semakin hari kita dihadapkan dengan adu domba mengenai identitas diri. Orang semakin banyak menjual identitas diri hanya untuk kepentingan ‘semata,’ harapannya supaya kita tetap waspada terhadap pengaruh itu. Ingatlah siapa diri kita, dan ingatlah apa Iman kita dengan ini pelan-pelan kita akan terbebas dari pengaruh pandangan buruk terkait pengaruh tersebut. Mulailah kritis dengan keadaan, dan jangan mudah terpancing dengan isu-isu yang berbau suku, raas, dan agama. Tahun ini adalah tahun politik, oleh sebab itu sebagai umat Katolik, kita tetap tenang dan bijak dalam bertindak serta berkata-kata, pesannya.

Bagi Angpao dan Kue Keranjang plus jeruk
Dari umur dibawah sepuluh tahun sampai dengan umur sembilan puluh ke atas, Uskup Agung membagikan angpao kepada semua umat yang hadir saat itu. pembagian angpao adalah tradisi Tiongkok kuno yang lazimnya dilakukan oleh orang yang sudah berkeluarga, dan diberikan kepada mereka yang masih belum berkeluarga. Atau angpao juga diberikan kepada orang tua yang sudah lanjut usia, dan masih banyak lagi cara-cara yang melambangkan sebuah kemurahaan hati dari memberi sebuah angpao.

Ada peristiwa yang langka kala itu, ditengah pembagian angpao dan saat itu khusus membagi untuk orang tua. Nyaris dua kali uskup melangkahkan kaki untuk mendekati orang tua yang tidak bisa berjalan normal. Sontak terdengar dari samping oleh wartawan tentang cara uskup. Begini bunyinya; “lia lo nyin sin ho,” artinya orang tua ini sangat baik ; ditujukan pada uskup. Ratusan orang antri seperti menyambut komuni, untuk mendapatkan angpao, jeruk dan kue keranjang pada perayaan kala itu. (Paul –Semz)



                                                                                                                                           







Tidak ada komentar:

Posting Komentar